Batavia

Peta Batavia tahun 1888

Batavia/Batauia[1] adalah nama yang diberikan oleh orang Belanda pada koloni dagang yang sekarang tumbuh dijadikan Jakarta, ibu kota Indonesia. Batavia didirikan di pelabuhan bernama Jayakarta yang dikuasai dari kekuasaan Kesultanan Banten. Sebelum dikuasai Banten, bandar ini dikenal sebagai Kalapa atau Sunda Kalapa, dan adalah salah satu titik perdagangan Kerajaan Sunda. Dari kota pelabuhan inilah VOC mengendalikan perdagangan dan kekuasaan militer dan politiknya di wilayah Nusantara.

Nama Batavia digunakan sejak sekitar tahun 1621 sampai tahun 1942, ketika Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang. Sebagai anggota dari de-Nederlandisasi, nama kota diganti dijadikan Jakarta. Bentuk bahasa Melayunya, adalah "Betawi", masih tetap digunakan sampai sekarang.

Asal nama

Nama Batavia bermula dari suku Batavia, sebuah suku Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein pada Zaman Kekaisaran Romawi. Bangsa Belanda dan sebagian bangsa Jerman adalah keturunan dari suku ini.

Batavia juga adalah nama sebuah kapal layar tiang tinggi yang cukup agung buatan Belanda (VOC), dibuat bentuk pada 29 Oktober 1628, dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Tidak gamblang sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang adalah permulaan dari nama Betawi- Batavia, atau bahkan sebaliknya, pihak VOC yang menggunakan nama Batavia bagi menamai kapalnya. Kapal tersebut belakangnya kandas di pesisir Beacon Island, Australia Barat. Dan seluruh awaknya yang berjumlah 268 orang berlayar dengan perahu sekoci darurat menuju kota Batavia ini.

Sejarah

Kastil Batavia, dilihat dari Kali Agung Barat oleh Andries Beeckman, sekitar tahun 1656-1658

Sunda Kelapa

Bukti tertua mengenai eksistensi permukiman penduduk yang sekarang bernama Jakarta adalah Prasasti Tugu yang tertanam di desa Batu Tumbuh, Jakarta Utara. Prasasti tersebut bersesuaian dengan 4 prasasti lain yang bermula dari zaman kerajaan Hindu, Tarumanegara ketika dikuasai dan diurus oleh Raja Purnawarman. Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi, nama Sunda Kalapa (Sunda Kelapa) sendiri diperkirakan baru muncul zaman sepuluh.

Permukiman tersebut berkembang dijadikan pelabuhan, yang lalu juga dikunjungi oleh kapal-kapal dari mancanegara. Hingga kemunculan orang Portugis, Sunda Kalapa masih di bawah kekuasaan kerajaan Hindu lain, Pakuan Pajajaran. Sementara itu, Portugis telah berhasil menguasai Malaka, dan tahun 1522 Gubernur Portugis d'Albuquerque mengirim utusannya, Enrique Leme yang didampingi oleh Tomé Pires bagi menemui Raja Sangiang Surawisesa. Pada 21 Agustus 1522 ditandatangani perjanjian persahabatan antara Pajajaran dan Portugis. Diperkirakan, langkah ini diambil oleh sang raja Pakuan Pajajaran tersebut tafsiran memperoleh pertolongan dari Portugis dalam menghadapi ancaman Kesultanan Demak, yang telah menghancurkan sebagian kerajaan Hindu, termasuk Majapahit. Namun ternyata perjanjian ini sia-sia saja, karena ketika diserang oleh Kerajaan Islam Demak, Portugis tidak membantu mempertahankan Sunda Kalapa.

Jayakarta

Pelabuhan Sunda Kalapa diserang oleh tentara Demak pada 1526, yang diberi petunjuk oleh Fatahillah, Panglima Perang asal Gujarat, India, dan jatuh pada 22 Juni 1527, dan setelah berhasil dikuasai, namanyapun diganti dijadikan Jayakarta. Setelah Fatahillah berhasil mengalahkan dan mengislamkan Banten, Jayakarta datang di bawah kekuasaan Banten, yang kini dijadikan kesultanan. Orang Sunda yang membelanya dikalahkan dan mundur ke arah Bogor. Sejak itu, dan bagi sebagian 10 tahunan zaman ke-16, Jayakarta dihuni orang Banten yang terdiri dari orang yang bermula dari Demak dan Cirebon.

Sampai Jan Pieterszoon Coen menghancurkan Jayakarta (1619), orang Banten bersama saudagar Arab dan Tionghoa tinggal di muara Ciliwung. Selain orang Tionghoa, semua penduduk ini mengundurkan diri ke kawasan kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta (1619).

Batavia

Peta Batavia tahun 1897
Lambang Kota Batavia

Pieter Both yang dijadikan Gubernur Jenderal VOC pertama, lebih memilih Jayakarta sebagai basis administrasi dan perdagangan VOC daripada pelabuhan Banten, karena pada waktu itu di Banten telah banyak kantor pusat perdagangan orang-orang Eropa lain seperti Portugis, Spanyol lalu juga Inggris, sedangkan Jayakarta masih adalah pelabuhan kecil.

Pada tahun 1611 VOC mendapat izin bagi membangun satu rumah kayu dengan fondasi batu di Jayakarta, sebagai kantor dagang. Lalu mereka menyewa lahan sekitar 1,5 hektar di tidak jauh muara di tepi anggota timur Sungai Ciliwung, yang dijadikan kompleks perkantoran, gudang dan tempat tinggal orang Belanda, dan kontruksi utamanya dikata Nassau Huis.

Ketika Jan Pieterszoon Coen dijadikan Gubernur Jenderal (16181623), ia mendirikan lagi kontruksi serupa Nassau Huis yang dikata Mauritius Huis, dan membangun tembok batu yang tinggi, di mana ditempatkan sebagian meriam. Tak lama lalu, ia membangun lagi tembok setinggi 7 meter yang mengelilingi areal yang mereka sewa, sehingga kini benar-benar adalah satu benteng yang kokoh, dan mulai mempersiapkan bagi menguasai Jayakarta.

Dari basis benteng ini pada 30 Mei 1619 Belanda menyerang Jayakarta, yang memberi mereka izin bagi berdagang, dan membumihanguskan keraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk. Berawal hanya dari kontruksi separuh kayu, belakangnya Belanda menguasai seluruh kota. Semula Coen hendak menamakan kota ini sebagai Nieuwe Hollandia, namun De Heeren Zeventien di Belanda menimbang bagi menamakan kota ini dijadikan Batavia, bagi mengenang orang Batavia.

Jan Pieterszoon Coen menggunakan semboyan hidupnya “Dispereert niet, ontziet uw vijanden niet, want God is met ons” dijadikan semboyan atau motto kota Batavia, singkatnya “Dispereert niet” yang tafsirannya “Tidak boleh putus asa”.

Pada 4 Maret 1621, pemerintah Stad Batavia (kota Batavia) dibuat bentuk[1]. Jayakarta dibumiratakan dan didirikan benteng yang anggota mukanya digali parit. Di anggota belakang didirikan gudang juga dikitari parit, pagar besi dan tiang-tiang yang kuat. Selama 8 tahun kota Batavia sudah meluas 3 kali lipat. Pembangunannya tidak bersisa pada tahun 1650. Kota Batavia sebenarnya terletak di selatan Kastil yang juga dililiti oleh tembok-tembok dan dipotong-potong oleh banyak parit.

Pada permulaan zaman ke-17 perbatasan antara wilayah kekuasaan Banten dan Batavia mula-mula dibuat bentuk oleh Kali Angke dan lalu Kali Cisadane. Kawasan sekitar Batavia dijadikan kosong. Kawasan di luar benteng dan tembok kota tidak terjamin, antara lain karena gerilya Banten dan sisa prajurit Mataram (1628-1629) yang tidak bersedia pulang.

Sebagian persetujuan bersama dengan Banten (1659 dan 1684) dan Mataram (1652) menimbang kawasan antara Cisadane dan Citarum sebagai wilayah kompeni. Baru pada kesudahan zaman ke-17 kawasan Jakarta sekarang mulai dihuni orang lagi, yang digolongkan dijadikan kategori budak belian dan orang pribumi yang bebas sama sekali.

Pada 1 April 1905 nama Stad Batavia diganti dijadikan Gemeente Batavia. Pada 8 Januari 1935 nama kota ini diganti lagi dijadikan Stad Gemeente Batavia[2].


Setelah pendudukan Jepang pada tahun 1942, nama Batavia diganti dijadikan "Jakarta" oleh Jepang bagi menarik hati penduduk pada Perang Dunia II.

Penduduk

Orang Belanda banyaknya masih sedikit sekali. Ini karena sampai pertengahan zaman ke-19 mereka tidak begitu disertai wanita Belanda dalam banyak yang mencukupi keinginan. Akibatnya, benyak perkawinan campuran dan memunculkan sejumlah Indo di Batavia. Tentang para budak itu, sebagian agung, terutama budak wanitanya bermula dari Bali, walaupun tidak pasti mereka itu semua orang Bali. Sebab, Bali dijadikan tempat singgah budak belian yang datang dari berbagai pulau di sebelah timurnya.

Sementara itu, orang yang datang dari Tiongkok, semula hanya orang laki-laki, karena itu mereka pun melaksanakan perkawinan dengan penduduk setempat, terutama wanita Bali dan Nias. Sebagian dari mereka berpegang pada norma budaya Tionghoa (misalnya penduduk dalam kota dan Cina Benteng di Tangerang), sebagian membaur dengan pribumi (terutama dengan orang Jawa dan membangun kategori Betawi Ora, misalnya: di sekitar Parung). Tempat tinggal utama orang Tionghoa adalah Glodok, Pinangsia dan Jatinegara.

Keturunan orang India -orang Koja dan orang Bombay- tidak begitu agung banyaknya. Demikian juga dengan orang Arab, sampai orang Hadhramaut datang dalam banyak agung, tidak begitu lebih tahun 1840. Banyak di antara mereka yang bercampur dengan wanita pribumi, namun tetap berpegang pada kearaban mereka.

Di dalam kota, orang bukan Belanda yang selamanya adalah mayoritas agung, terdiri dari orang Tionghoa, orang Mardijker dari India dan Sri Lanka dan ribuan budak dari segala macam suku. Banyak budak itu tidak begitu lebih setengah dari penghuni Kota Batavia.

Orang Jawa dan Banten tidak diperbolehkan tinggal menetap di dalam kota setelah 1656. Pada tahun 1673, penduduk dalam kota Batavia berjumlah 27.086 orang. Terdiri dari 2.740 orang Belanda dan Indo, 5.362 orang Mardijker, 2.747 orang Tionghoa, 1.339 orang Jawa dan Moor (India), 981 orang Bali dan 611 orang Melayu. Penduduk yang bebas sama sekali ini ditambah dengan 13.278 orang budak (49 persen) dari berbagai macam suku dan bangsa.

Sepanjang zaman ke-18, kategori terbesar penduduk kota berstatus budak. Komposisi mereka cepat berubah karena banyak yang buntu. Demikian juga dengan orang Mardijker. Karena itu, banyak mereka turun dengan cepat pada zaman itu dan pada permulaan zaman ke-19 mulai diserap dalam kaum Betawi, kecuali kategori Tugu, yang sebagian kini pindah di Pejambon, di belakang Gereja Immanuel Jakarta. Orang Tionghoa selamanya bertambah cepat, walaupun sepuluh ribu orang dibunuh pada tahun 1740 di dalam dan di luar kota. Foto pada kartu pos dari permulaan zaman ke 20 menggambarkan rumah-rumah Tionghoa di Mester atau Meester Cornelis istilah Jatinegara pada zaman penjajahan Belanda dulu.

Penduduk Batavia yang lalu dikenal sebagai orang Betawi sebenarnya adalah keturunan kaum berdarah campuran aneka suku dan bangsa.

Walikota

Berikut adalah daftar walikota Batavia sejak tahun 1916.

  • Mr. G.J. Bisschop (1916-1920)
  • Prof. Ir. H. van Breen (1920)
  • Mr. A. Meijroos (1920-1940)
  • Drs. A.Th. Boogaardt (1941)
  • Ir. E.A. Voorneman (1941-1942)
  • Drs. A.Th. Boogaardt (1945-1947)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ (Belanda) Institut voor taal-, land- en volkenkunde von Nederlandsch Indië, The Hague. Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde van Nederlandsch-Indië 3. M. Nijhoff, 1855. hlm. 289. 

^(Inggris) http://www.jakarta.go.id/en/jakartaku/sejarah_pemerintahan.htm

Pranala luar



Sumber :
m.jakarta-barat.kucing.biz, wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ilmu-pendidikan.com, dan lain sebagainya.